LESSON STUDY FOR LEARNING COMMUNITY: Best Practice Pendidikan Di Jepang

Sekretaris program studi Pendidikan Dasar Program Pascasarjana UNY, Dr. Ali Mustadi, M.Pd., mengikuti Short Course on Lesson Study for Learning Community di Jepang. Kegiatan short course tersebut berlangsung sekitar 1 bulan yaitu mulai 12 Oktober sampai dengan 9 November 2013. Agenda studi meliputi: intensive sit in dan seminar di Tokyo University bersama Prof. Masamichi Ueno dan Ass. Prof. Sachiko Asai, seminar di Saitama University bersama Prof. Yoshiko Kitada dan Prof. Yasuo Shoji, seminar di Okinawa bersama Prof. Manabu Sato; observasi Open Class pada implementasi School Reform melalui Lesson Study for Learning Community di sekolah, diskusi dan resource sharing bersama Prof. Masaaki Sato, Prof. Izumi Nishitani, Atsushi Tsukui, Takashi Nagashima, Prof. Masatsugu Murase, Naomi Takasawa, dan beberapa staf JICA.

School reform yang dimaksud yaitu bagaimana sekolah mampu mewujudkan learning community di mana guru, siswa, dan orang tua saling belajar, sebagaimana telah diimplementasikan di Jepang secara berkesinambungan. Best practice tersebut didasarkan pada pemaknaan bahwa schools as learning community is a vision, philosophy, and activity system, that school is a place where children learn together, teacher also learn together as teaching professional, and even parents learn together through active participation (Prof. Manabu Sato). “Guru bukan mengajar tapi belajar” merupakan filosofi dasar dalam learning community. Selain itu, setiap anak memiliki hak untuk belajar sehingga pemerintah Jepang menjamin hak belajar setiap siswa yang kemudian dari filosofi tersebut dapat menciptakan joyful and meaningful learning pada setiap anak yang masing-masing punya hak untuk belajar, the right to learn. Kegiatan riil dan dasar yang harus dilaksanakan dalam learning community yaitu terlaksananya open class, bagaimana guru mengajar dengan terlebih dahulu merencanakan desain pembelajaran, kemudian melaksanakan proses pembelajaran secara terbuka dengan diamati/diobservasi oleh guru yang lain, dosen/ahli dari perguruan tinggi, dan juga orang tua, yang kemudian hasil pengamatan tersebut dipakai sebagai bahan refleksi bagaimana siswa belajar bukan merefleksi bagaimana guru mengajar. Sehingga forum refleksi tidak digunakan untuk mengkritik guru tapi menganalisis setiap fenomena atau fakta anak dalam aktivitas belajar secara detail. Dalam learning community juga guru saling belajar, terutama antar kepala sekolah dan guru, dan antar sesama guru, sehingga yg terbentuk adalah budaya kolegalitas. Prinsip kolegalitas di antaranya yaitu guru saling membantu, tidak ada guru yang ‘melejit’ sendiri dan juga tidak ada guru yg ‘tertinggal’ sendiri. Hal demikian juga terjadi di antara siswa, dimana siswa yang memiliki kemampuan lebih membantu siswa yang kurang mampu, begitu pula sebaliknya, sehingga yang terbangun adalah Caring Community. Kultur sekolah tersebut dapat terwujud karena di Jepang tidak menerapkan ‘kompetisi belajar', akan tetapi yang diterapkan di Jepang yaitu Collaborative Learning.

Ada hal yang unik di sekolah di Jepang, sebagai contoh yaitu pemerintah memberikan wewenang setiap sekolah untuk melakukan dan mengembangkan ide kreatif, seperti ada sekolah di Kota Fuji yang menerapakan filosofi gunung Fuji, yaitu sekolah dan guru mengajak semua anak untuk belajar seolah mendaki ke puncak gunung, bisa ditebak bahwa tidak semua anak bisa sampai puncak, sehingga anak yang seolah sudah sampai puncak kemudian kembali turun membantu teman siswa lainnya yang kesulitan dalam belajar. Contoh lain ada sekolah di Ushiku yang menerapkan pola komunikasi yang efektif dengan siswa, yaitu guru menggunakan suara yang sangat rendah volumenya, akan tetapi justru dengan suara yg sangat pelan tersebut siswa berupaya mendengarkan sehingga terbangun komunikasi yg sangat efektif. Ada juga sekolah yang menerapkan komitmen pada semua guru dikala mendekati siswa yang bertanya dengan merundukkan badan sehingga kepala guru posisinya lebih rendah atau sejajar dengan kepala siswa. Cukup aneh memang kalau dilihat sekilas, akan tetapi kreativitas-kreativitas sekolah tersebut terbukti mampu mewujudkan kultur sekolah yang mencerminkan tempat belajar. Kalau boleh disimpulkan, sekolah di Jepang menerapkan beberapa filosofi pendidikan oleh tokoh-tokoh pendidikan di Indonesia, seperti Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, selain itu juga filosofi Gotong Royong dan filosofi Asah, Asih, Asuh. Lebih jauh lagi, bahwa di sekolah di Jepang tidak secara harfiah mengajarkan/mengembangkan Character Building akan tetapi siswa di Jepang mengamalkan nilai-nilai karakter seperti disiplin waktu, ramah dan hormat termasuk dengan orang yang beum mereka kenal, jujur dan tanggung jawab, dan sikap-sikap positif lainya, dan bahkan ada momen di beberapa sekolah yaitu siswa tidak akan pulang sekolah sebelum kelas dan lingkungan sekolah bersih sehingga siswa mengepel semua lantai sekolah, sebuah fenomena yang mungkin menjadi pemandangan langka di negeri tercinta ini.

Learning experience tersebut sudah menjadi budaya di Jepang selama berpuluh-puluh tahun karena prinsip sekolah yaitu kelas adalah milik umum sehingga kelas harus terbuka di mana democracy of learning: child, teacher, and parent are all “protagonist” atau semua anak, guru, dan orang tua menjadi pelaku utama. Sebagaimana dikuatkan bahwa democracy of learning is “a way of associated living” and respect for dignity and diversity of individuals (John Dewey). Perspektif belajar tersebut lebih dikenal dengan philosophy of excellence di mana masing-masing orang melakukan hal yang terbaik.(Ali Mustadi).